Minggu, 19 Desember 2010

RI Disalip India Soal Perdagangan Berjangka Komoditi

Jakarta - Indonesia masih tertinggal jauh oleh India untuk urusan volume perdagangan berjangka komoditi. Negeri Hindustan ini meski bursa berjangkanya baru berusia 7 tahun namun sudah mencatatkan posisi ke-6 di bursa berjangka internasional.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan pelaku bursa berjangka komoditi di Indonesia perlu mencontoh pada perkembangan bursa berjangka di India.

Mari mengatakan bursa berjangka komoditi India yaitu Multi Commodity Exchange of India (MCX) mampu mencatatkan volume transaksi 161,2 juta lot per tahun sementara Indonesia melalui bursa berjangka Jakarta (BBJ) atau Jakarta Futures Exchange (JFX) hanya mencapai volume transaksi 186.834 lot ( Januari-November 2010).

"Ini sebagai benchmark, India menjadi salah satu benchmark yang patut digunakan," kata Mari dalam acara perayaan 10 tahun lahirnya dan peresmian kantor baru JFX di The City Tower, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (20/12/2010).

Multi Commodity Exchange of India (MCX) sejak berdiri tahun 2003 berhasil melaju pesat sebagai bursa berjangka dengan volume transaksi mencapai 60.000 lot per hari di 2009.

Mari mengatakan, India patut menjadi contoh bagi Indonesia karena memiliki karakteristik yang sama dengan Indonesia terutama dari sisi kemiripan pasar dan memiliki pasar yang sangat besar.

"Masih sedikitnya kontrak berjangka komodoti primer yang diperdagangkan di bursa berjangka Indonesia, di mana saat ini hanya ada 3 komoditi yaitu Olein, CPO, dan emas beserta turunannya dengan kontribusi 3,62% dari total volume transaksi (2010)," katanya.

Sementara itu Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Deddy Saleh mengatakan selama 10 tahun BBJ telah mengalami jatuh bangun dan berupaya terus melakukan perbaikan. Selain itu, Deddy juga mengatakan saat ini Indonesia melalui bursa berjangka belum menjadi referensi harga komoditi dunia padahal Indonesia menjadi produsen dan pengekspor komoditi penting dunia lainnya.

"Tak satupun referensi harga yang menjadi acuan, jangankan internasional, nasional pun tidak," katanya.

Hingga kini Indonesia belum mempunyai acuan harga untuk produk komoditi padahal Indonesia termasuk salah satu produsen dan pengekspor komoditi terbesar. Misalnya harga CPO mengacu pada bursa di Malaysia dan Rotterdam.

Selain itu, referensi harga kopi ke London, harga kakao ke New York, harga batubara ke Australia, harga timah ke Malaysia, harga emas ke New York, harga karet ke Thailand dan lain-lain.

Direktur Utama BBJ Made Sukarwo mengatakan selama berdiri 10 tahun sejak 15 Desember 2000, BBJ, pihaknya belum menghasilkan sesuatu yang sempurna. Pihaknya telah dan terus melakukan perbaikan, namun ia menggarisbawahi upaya ini perlu dukungan semua pihak khususnya pemerintah.

"Terutama butuh dukungan pemerintah baik fasilitas maupun dukungan politik," katanya.

BBJ sendiri sedang melakukan pembenahan diantaranya dengan melakukan sistem perdagangan online yang bisa diakses segala tempat atau yang disebut Jakarta Futures Electronic Trading System (JaFETS3). BBJ juga tengah mempersiapkan fasilitas Automatic Price Injection (API) untuk memudahkan para market maker memberikan order beli dan jual selama perdagangan.

Dengan adanya sistem API ini maka transaksi di BBJ akan selalu ada order beli dan jual selama jam perdagangan. Hal ini sama saja seperti pada konsep transaksi money changer, sehingga nasabah mudah melakukan pembelian dan penjualan karena tawaran harga beli dan jual tersedia dengan spread yang kecil.

Selama ini karakteristik investor di BBJ sebagai pelaku pemakan order artinya bukan sebagai pihak yang memasang order terlebih dahulu. Sehingga dengan kondisi ini biasanya jika tak ada order jual dan beli maka tak ada transaksi yang berujung tak terjadi volume perdagangan di BBJ.

Dengan adanya fasilitas API dan market maker diharapkan bisa menarik investor untuk bertransaksi karena setiap saat selalu ada order beli dan jual.

sumber :http://www.detikfinance.com/read/2010/12/20/115528/1528677/6/ri-disalip-india-soal-perdagangan-berjangka-komoditi