Minggu, 21 Agustus 2011

Asma Bisa Dikendalikan

Asma atau peradangan pada seluruh percabangan saluran napas yang ditandai dengan penyempitan saluran napas, saat ini diperkirakan menyerang sekitar lima persen penduduk Indonesia dari segala usia. Asma perlu mendapat perhatian karena penyakit itu dapat menurunkan produktivitas dan meningkatkan beban ekonomi.
"Pengetahuan tentang penyakit asma perlu diketahui juga masyarakat umum untuk ikut membantu meminimalisasi faktor pencetus asma bagi penderitanya," kata dr Achmad Hudoyo, Sp P(K) dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam acara seminar tentang pengendalian asma, di Jakarta, belum lama ini.
Faktor yang meningkatkan terjadinya risiko serangan asma pada seseorang, menurut Achmad Hudoyo, selain faktor genetika, yang banyak terjadi akibat kondisi atau bahan tertentu yang mengakibatkan alergi serta kondisi lingkungan yang buruk.
"Selama ini hanya 30 persen asma yang terjadi karena faktor genetik, sisanya terpapar karena kondisi lingkungan yang buruk. Pengendalian faktor resiko dengan meningkatkan kualitas lingkungan sangatlah penting," ucapnya.
Meski hingga kini belum bisa disembuhkan, lanjut Achmad Hudoyo, asma sudah bisa dikendalikan. "Jadi sebenarnya mengobati asma secara tuntas adalah menghilangkan kedua faktor tersebut. Bila kedua faktor itu hilang, maka dapat dikatakan asmanya sudah `sembuh`," tuturnya.
Pegiat Yayasan Asma Indonesia itu lebih lanjut menjelaskan, untuk menghilangkan bakat asma yang biasanya diturunkan dari orang tua, harus dilakukan rekayasa genetika atau terapi gen sejak janin -- yang pada saat masih menjadi embrio dalam kandungan.
Namun, ia melanjutkan, hingga kini teknologi kedokteran belum mampu melakukan rekayasa genetik untuk menghilangkan bakat asma. "Karena itu yang bisa dilakukan oleh setiap orang adalah menghindari faktor pencetusnya," ucapnya.
Ia menjelaskan, serangan asma ringan berupa batuk berdahak pada malam hari menjelang pagi dan serangan berat berupa sesak napas disertai bunyi dan retraksi atau penarikan otot, bisa muncul bila ada faktor pencetus.
Menurut dia, faktor pencetus asma bisa berasal dari luar tubuh seperti cuaca (dingin, hujan, udara panas), debu, polusi udara, wewangian, makanan, zat kimia dan obat tertentu serta dari dalam tubuh seperti infeksi virus, sinusitis dan stress.
"Untuk tiap individu faktor pencetus asma bisa berbeda-beda, sehingga tidak bisa dibuat patokan secara umum. Misalnya, untuk orang tertentu dingin bisa mencetuskan asma, tetapi pada yang lain faktor pencetusnya bisa berupa udara panas," katanya.
Kondisi yang demikian, lanjutnya, membuat orang yang secara alami punya penyakit asma sangat sulit menghindari faktor pencetus, sehingga kemudian dibuat obat pencegah dan pelega asma. "Sebenarnya obat asma yang pertama adalah menghindari faktor pencetus, kedua menghindari faktor pencetus dan ketiga juga menghindari faktor pencetus, baru yang keempat menggunakan obat-obatan," katanya.
Achmad Hudoyo menjelaskan, obat asma terdiri atas obat pelega yang berfungsi untuk melebarkan saluran napas dengan mengendorkan otot saluran nafas yang sedang tegang atau bronkospasme, sedangkan obat pencegah berfungsi sebagai antiinflamasi (antiradang), untuk mempertahankan saluran napas tetap terbuka dan lega setelah menggunakan obat pelega.
Obat pelega, ia menambahkan, digunakan bila perlu yakni ketika ada gejala serangan asma baik ringan atau berat sedangkan obat pencegah dianjurkan digunakan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari semaksimal mungkin, selama enam bulan sampai tidak muncul serangan lagi.
"Ini diperlukan karena faktor pencetus ternyata sangat beragam, dapat muncul setiap hari, dan bisa datang setiap saat," katanya.
Penggunaan obat pencegah dan pelega asma, katanya lebih lanjut, disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit asma yang diderita. Penderita gangguan asma ringan dengan frekuensi serangan jarang atau hanya sekali atau dua kali dalam setahun.
Karena itu, ia menyarankan untuk menggunakan obat pelega sedangkan penderita serangan asma sedang atau berat yang sering mengalami serangan diharuskan menggunakan obat pelega disertai obat pencegah.
Lebih lanjut Achmad Hudoyo menambahkan, bila upaya yang dilakukan untuk menghindari faktor pencetus asma berhasil maka gangguan asma pada penderita bisa dikendalikan. Gangguan asma, dikatakan terkontrol sebagian bila skor Asthma Control Test penderita yang bersangkutan 0-24 dan terkontrol total bila skornya 25.
Kriteria klinis asma yang terkontrol, katanya, terlihat bila penderita bebas gejala asma, aktivitas sehari-harinya tidak terganggu asma, tidak lagi mengalami gangguan ketika tidur, tidak lagi menggunakan obat pelega lagi dan hasil pemeriksaan faal parunya normal.
Achmad Hudoyo menjelaskan, bentuk obat asma yang ada saat ini cukup beragam, mulai dari suntikan, infus, diminum, dihisap atau disemprotkan ke dalam saluran napas. Injeksi atau infus biasanya hanya dilakukan dokter kepada penderita asma yang dirawat di unit gawat darurat rumah sakit, "Untuk penggunaan sehari-hari di rumah dianjurkan obat yang disemprot atau dihisap," katanya.
Obat hisap atau "inhaler", menurut dia, lebih dianjurkan karena obat hisap langsung terarah ke saluran nafas sehingga lebih cepat bekerja, dosisnya juga lebih sedikit yakni 1/10-1/20 dosis obat minum sehingga efek samping obat bisa dikurangi.
"Inhaler juga bekerja setempat, hanya ke saluran nafas, sehingga efek samping bisa ditekan, bahkan tidak ada efek samping sistemiknya," katanya.
Sementara pemakaian obat golongan steroid, menurut dia, harus dilakukan dengan strategi khusus karena meskipun terbukti paling ampuh untuk asma tapi memiliki efek samping.
Dalam hal ini, ia menjelaskan, pemakaian steroid jangka pendek masih dibenarkan tetapi penggunaan jangka panjang memerlukan cara khusus karena bisa berefek osteoporosis, muka seperti bulan (moonface), penekanan sumsum tulang, dan retensi cairan yang membuat tubuh mengandung banyak air.
Pada kesempatan yang sama, dr Nunung Rahayu dari Yayasan Penyantun Anak Asma Indonesia dan Lily Rosyana dari Yayasan Asma Indonesia mengatakan, pihaknya memiliki sejumlah program untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kemungkinan terkena serangan asma.
Bagi mereka yang sudah terkena serangan asma, lanjut Nunung Rahayu, pihaknya juga menggiatkan kampanye senam asma di sekitar lingkungan RT/RW yang baik tidak saja bagi penderita asma, tetapi juga masyarakat setempat. "Meski namanya senam asma, yang ikut boleh siapa saja yang berminat. Karena efeknya juga ikut membantu memperbaiki sistem pernapasan menjadi lebih baik," kata Nunung.
Selain itu, lanjut Nunung, pihaknya juga berupaya membantu penderita asma dari keluarga kurang mampu untuk mendapat pengobatan yang sesuai, termasuk bantuan pembelian obat antiinflamasi inhaler sebesar lima persen kepada penderita asma. "Memang jumlahnya hanya sedikit. Selebihnya mereka dibantu melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat," kata Nunung seraya menambahkan bahwa bantuan tersebut merupakan voucher yang diberikan pada mereka yang menjadi anggota klub Yayasan Asma Indonesia.